Permasalahan
Sosial Utama di Indonesia
Kemiskinan
“Boediono: “Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia Kompleks””
Wakil Presiden Boediono
mengakui penanggulangan kemiskinan di Indonesia merupakan masalah kompleks dan
multidimensional, mengingat komposisi penduduknya yang beragam status sosial
dan ekonomi, serta geografis yang tersebar.
Wapres di New York pada
Jumat ini mengikuti diskusi meja bundar yang diadakan oleh Clinton Global
Initiative (CGI), dan Boediono dalam kesempatan itu menyampaikan beberapa butir
pemikiran mengenai pemanfaatan teknologi untuk mempercepat pemberantasan
kemiskinan. Menurut Wapres, penanggulangan kemiskinan di Indonesia berfokus
pada perbaikan kualitas sumber daya manusia melalui perbaikan kualitas
pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Indonesia, kata Boediono,
telah menyediakan anggaran dana 20% dari anggaran pendidikan untuk perbaikan
kualitas pendidikan di samping menyediakan layanan dasar kesehatan untuk orang
miskin secara cuma-cuma melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat. Saat ini pemerintah
juga menyiapkan perubahan layanan sistem jaminan kesehatan berbasis asuransi
yang mencakup seluruh penduduk sesuai amanat UU Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Dikatakan Wapres pula
masalah kemiskinan bukan hanya dialami oleh Indonesia tapi juga merupakan
masalah global. Total, kata Boediono, masih ada 1,37 miliar penduduk dunia
tergolong miskin, 30 juta orang diantaranya berada di Indonesia, 465 juta orang
di India, 208 juta orang di China, Asia 957 juta orang.
Wapres juga menyatakan komitmen pemerintah untuk mengurangi
kemiskinan di Indonesia hingga delapan persen hingga 10 persen dari jumlah
penduduk tahun 2014 dari angka saat ini 13,3 persen tahun 2010. Untuk itu, kata
Boediono, pemerintah sudah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K) yang langsung diketuai Wapres untuk memastikan pencapaian target
tersebut.
Analisis:
Kemiskinan adalah keadaan
di mana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan,
pakaian, tempat berlindung, dan air minum. Hal-hal ini berhubungan erat dengan
kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap
pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan
mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.
Kemiskinan memang bukan
hal baru lagi dalam salah satu permasalahan pemerintah Indonesia yang hingga
saat ini belum dapat dituntaskan pemecahannya. Karena masalah kemiskinan ini
bukan baru beberapa tahun ini datang, melainkan sudah sejak bertahun-tahun yang
lalu. Kemiskinan seperti menjadi salah satu ciri khas negara kita.
Menurut sejarah, keadaan
kaya dan miskin secara berdampingan tidak merupakan masalah sosial, sampai
saatnya perdagangan berkembang dengan pesat dan timbulnya nilai-nilai sosial
yang baru. Dengan berkembangnya perdagangan keseluruh dunia dan ditetapkannya
taraf kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakat, kemiskinan muncul
sebagai masalah sosial. Pada waktu itu individu sadar akan kedudukan ekonominya
sehingga mereka mampu untuk mengatakan apakah dirinya kaya atau miskin.
Kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial apabila perbedaan kedudukan ekonomi
para warga masyarakat ditentukan secara tegas.
Pada masa Orde Baru,
walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar
7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap
tinggi. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996
masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang.
Selain itu, jika dilihat
dari sisi ilmu geografi yang membahas tentang penduduk dan lingkungannya,
permasalahan kemiskinan muncul karena meledaknya jumlah penduduk Indonesia dari
tahun ke tahun. Ibaratnya mereka menganut prinsip banyak anak banyak rezeki.
Dan jumlah penduduk yang membeludak tersebut kebanyakan bertumpuk pada satu
tempat yang sama, seperti di pulau Jawa. Selain itu juga dikarenakan banyaknya
atau meningkatnya jumlah pengangguran dari ke tahun, menyebabkan kemiskinan
semakin menjadi momok. Terlebih karena jumlah pengemis dan gelandangan yang
seolah ikut-ikutan tidak ada hentinya untuk terus bertambah.
Sejak awal kemerdekaan,
bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya
masyarakat yang adil dan makmur. Dalam sudut pandang ekonomi, program-program
pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar
terhadap upaya pengentasan kemiskinan, karena pada dasarnya pembangunan yang
dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam membangun suatu
sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan
kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam
penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk
pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat
mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang
salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui
kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.
Keuntungan yang diperoleh
dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih
besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data
tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak
yang berkepentingan, baik lokal maupun nasional atau internasional, agar
penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran
dan tidak tumpang tindih.
Diagnosa kemiskinan juga menunjukan bahwa perbaikan dalam
sektor pendidikan (educational endowment) –di atas pendidikan sekolah dasar-
adalah faktor kunci dalam pengentasan kemiskinan. Investasi terhadap rakyat
miskin melalui pertumbuhan ekonomi, perencanaan dan penganggaran belanja yang
berpihak pada masyarakat miskin adalah sangat penting. Ditambah lagi, rakyat
miskin harus dapat dihubungkan dengan kesempatan-kesempatan pertumbuhan,
melalui hal-hal seperti akses terhadap infrastruktur, jalan, dan kredit. Selain
itu, penanggulangan tingkat pengangguran juga perlu diperhatikan dalam
pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Anak putus sekolah
“12 Juta Anak Indonesia Putus Sekolah”
Dalam kenyataan yang umum,
tingkat pendidikan berpengaruh mutlak terhadap peluang bekerja, posisi di
bidang kerja, tingkat salary dan fasilitas yang dapat dinikmati; menentukan
pula terhadap perilaku individu dalam rumah tangga, tanggung jawab sosial; dan
mempengaruhi bobot independensi individu di bidang sosial-politik.
Secara kasat mata saja
kita sudah bisa melihat dampak langsung dari begitu besarnya angka putus
sekolah di Indonesia. Pengamen cilik dan usia remaja kini bergentayangan di
seluruh wilayah negeri ini. Tidak hanya di kota-kota besar, mereka hadir sampai
di desa-desa dan menyebarkan kebisingan, gangguan dan kecemasan.
Menurut Sekjen Komnas
Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling
menonjol tahun ini terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun di tingkat SD
tercatat 23 %. Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah
29 %. Jadi jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tidak kurang dari 8 juta.
8 juta remaja yang masih
labil dan mencari identitas diri terpaksa putus sekolah; terpaksa meninggalkan
teman-temannya yang masih terus bersekolah; dan terpaksa menelan kenyataan
pahit sebagai manusia yang gagal dan tereliminasi. Menurut Arist Merdeka
Sirait, sebagaimana diberitakan surat kabar Kompas edisi Selasa (18/3),”Dampak
ikutan, anak-anak yang berkeliaran di jalan-jalan di Jakarta juga akan terus
bertambah. Setelah mereka putus sekolah tentu mereka akan berupaya membantu
ekonomi keluarga dengan bekerja apa pun.”
‘Bekerja apapun’ adalah sebuah pesan yang sangat jelas, meski
sengaja disampaikan secara samar. Artinya, dalam rangka stuggle for life atau
demi melanjutkan gaya hidup yang terlanjur konsumtif; bisa saja mereka menjadi
pedagang asongan, pengamen, pengemis, kuli panggul, pencopet, pedagang narkoba;
atau menjadi pembantu rumah tangga, kawin di usia dini atau menjadi pelacur.
Analisis:
Kasus putus sekolah lebih
sering diakibatkan karena kurangnya dana untuk melanjutkan pendidikan tersebut,
rendahnya tingkat pemahaman akan pentingnya pendidikan, juga dikarenakan minat
peserta didik itu sendiri yang lemah untuk melanjutkan pendidikannya.
Padahal jelas tercantum
dalam UUD 1945, bahwa pendidikan merupakan salah satu hal pokok yang harus
didapatkan setiap warga negara Indonesia. Bahkan dalam pasal 31 ayat 2 jelas
dikatakan bahwa, “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.”
Kemudian jika dilihat dari
sudut pandang ekonomi, tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena
yang banyak disebabkan karena mahalnya biaya pendidikan, yang membuat
masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan.
Jelas mereka tidak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat mahal itu.
Bagaimana seorang penarik becak misalnya yang memiliki anak cerdas bisa
mengangkat dirinya dari kemiskinan ketika biaya untuk sekolah saja sudah sangat
mencekik leher. Sementara anak-anak orang yang berduit bisa bersekolah di
perguruan-perguruan tinggi mentereng dengan fasilitas lengkap.
Tingginya tingkat putus
sekolah berdampak pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu
akan mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.
Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di
era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.
Selain itu, jika dilihat
dari faktor psikologi, penyebab anak-anak tersebut putus sekolah adalah karena
pemikiran yang terbentu di benak mereka. Mereka yang kebanyakan mengisi waktu
dengan berkeliaran di jalan, menganggap hal tersebut lebih menyenangkan dari
pada menghabiskan waktu di sekolah.
Untuk menangani hal ini
tentu kita –negara kita- mesti lebih cermat lagi dalam mengambil langkah.
Dilihat dari faktor psikologi, jika malasalah yang timbul karena rendahnya
minat peserta didik itu sendiri atau karena pemikiran yang tidak berkembang,
kita mestinya dapat melakukan sosialisasi akan pentingnya pendidikan tersebut.
Bukan hanya pendidikan yang berupaya mengembangkan kecerdasan seseorang, tapi
juga pendidikan yang mampu mengasah kemampuan seseorang dalam mengolah sesuatu.
Namun, jika memang masalah utama timbul karena faktor biaya –segi ekonomi-
pendidikan yang terlalu mahal. Mestinya ada pengkhususan bagi mereka yang tidak
mampu untuk tetap dapat mendapatkan pendidikan.
Sekarang ini sudah banyak
jenis pendidikan yang memberikan kesempatan kepada para peserta didiknya untuk
mendapatkan pendidikan yang lebih layak tanpa pungutan biaya yang besar, bahkan
ada yang sama sekali tidak memungut satu rupiah pun dari para peserta didiknya.
Baik itu bentuk pendidikan yang formal, maupun informal. Semoga saja dengan
adaya hal ini, dapat mengurangi tingkat anak yang putus sekolah.
Pendidikan bisa dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda
dalam sudut pandang sosiologi, yaitu sudut pandang dimensi akademik dan sudut
pandang dimensi praksisnya dalam kehidupan. Apabila dimensi akademik menekankan
pada pemahaman dan pengembangan ilmu, dimensi praksis berkaitan dengan
implementasinya dalam kehidupan beserta dampak-dampak sosial yang
mengiringinya. Sebenarnya kedua dimensi itu tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Antara keduanya terjalin hubungan kesalingtergantungan yang amat erat
saling meningkatkan dan saling menguatkan.
Pengangguran
“Masalah Pengangguran dan Kondisi Ketenagakerjaan di
Indonesia”
Dari 107,41 orang yang bekerja pada waktu yang sama, status
pekerja utama yang terbanyak sebagai buruh/ karyawan yakni mencapai 30,72 juta
atau sekitar 28,61 persen. Kemudian diikuti berusaha dibantu buruh tidak tetap
(buru harian/ borongan) sebesar 21,92 juta orang atau 20,41 persen, dan
berusaha sendiri sejumlah 20,46 juta orang atau 19,05%, sedangkan sisanya
adalah berusaha dibantu buruh tetap. Jumlah penduduk yang bekerja menurut
pendidikan tertinggi yang ditamatkan untuk semua golongan pendidikan mengalami
kenaikan, di mana pada kuartal pertama tahun 2009 pekerja yang bekerja dengan
tamatan universitas sebanyak 4,22 juta orang, untuk kuartal yang sama tahun
2010 meningkat menjadi 4,94 juta orang. Sementara untuk tenaga kerja yang
bekerja dengan tamatan Diploma 1/11/III pada kuartal pertama tahun 2009
sebanyak 2,68 juta orang pada kuartal yang sama tahun 2010 naik menjadi 2,89
juta orang sementara untuk pekerja dengan pendidikan terakhir sekolah menengah
kejuruan juga terjadi peningkatan, pada kuartal pertama tahun 2009 sebanyak
7,19 juta orang untuk kuartal yang sama tahun 2010
meningkat menjadi 8,34 juta orang. Dengan target pemerintah
pada tahun 2010 angka pengangguran di Indonesia menjadi 8 persen, jika dilihat
dari data yang ada di BPS pada kuartal pertama tahun 2010 sudah bisa dikatakan
berhasil, sebab menurut data yang ada di mana angka pengangguran hanya sebesar
7,41 persen atau 8,59 juta orang. Yang menjadi pertanyaan dengan keberhasilan
kuartal 1/2010 apakah angka tersebut bisa di pertahankan hingga akhir tahun
2010.
Analisis:
Masalah pengangguran dan
kemiskinan di Indonesia seolah sudah menjadi kawan sejati yang tidak bisa
dipisahkan. Dari tahun ke tahun jumlah pengangguran yang ber-title sarjana
terus bertambah, tanpa –mereka- memiliki perbekalan atau keahlian dalam bidang
tertentu untuk mengatasi pengangguran itu sendiri. Serta dengan semakin
sedikitnya jumlah lapangan kerja yang tersedia.
Dari segi ilmu geografi,
pengangguran adalah salah satu permasalahan yang terdapat di dalamnya.
Indonesia membutuhkan petumbuhan setidaknya 7,3 persen per-tahun untuk
mengurangi angka pengangguran. Pertumbuhan itu bisa dicapai jika laju inflasi
berkisar 4 hingga 6 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) per-hari ini mencatat
ada sekitar 1,1 juta orang yang menjadi pengangguran baru di Indonesia. Jumlah
tersebut merupakan jumlah anak yang tamat sekolah (perguruan tinggi) namun
belum bisa diterima bekerja.
Sedangkan jika dilihat
dari segi ilmu ekonomi, meluasnya pengangguran sebenarnya bukan saja disebabkan
rendahnya tingkat pendidikan seseorang, tetapi juga disebabkan kebijakan
pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro atau pertumbuhan. Ketika
terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia tahun 1997 silam, misalnya banyak
perusahaan yang melakukan perampingan jumlah tenaga kerja. Sebab, tidak mampu
lagi membayar gaji karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya
jutaan orang terpaksa harus dirumahkan atau dengan kata lain meraka terpaksa
di-PHK –Pemutusan Hubungan Kerja.
Upaya untuk mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia salah
satunya tentu saja dengan membuat suatu lapangan kerja untuk mereka –dalam
jangka pendek. Juga dengan memberikan pelatihan berupa kemampuan bakat atau
skill yang perlu dikembangkan untuk menghadapi masa depan yang lebih sulit
lagi. Dapat pula dengan memprioritaskan pendidikan yang diambil yang disesuaikan
dengan kemampuan yang dimiliki. Selain itu perlu juga dalam membatasi
pertumbuhan penduduk yang setiap tahunnya terus meningkat. Sedangkan strategi
jangka panjang seperti pemerataan pertumbuhan ekonomi di wilayah melalui
kebijakan desentralisasi. Hal ini dinilai sangat membantu menyerap orang-orang
yang menganggur tetapi kreatif dan menjadi pereda di tengah pasar global. Jika
ternyata hal ini dapat menjawab sebagian dari masalah pengangguran yang di
hadapi bangsa ini, maka sudah waktunya hal ini didukung oleh pemerintah dengan
menyiapkan anggaran. Anggaran ini bisa digunakan untuk dijadikan modal
pengembangan usaha ekonomis produktif bagi pekerja-pekerja informal serta bisa
dijadikan modal untuk merintis usaha baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar