Senin, 07 Januari 2013

Ilmu sosial dasar Nasional


Permasalahan Sosial Utama di Indonesia
                
Kemiskinan
“Boediono: “Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia Kompleks””
Wakil Presiden Boediono mengakui penanggulangan kemiskinan di Indonesia merupakan masalah kompleks dan multidimensional, mengingat komposisi penduduknya yang beragam status sosial dan ekonomi, serta geografis yang tersebar.
Wapres di New York pada Jumat ini mengikuti diskusi meja bundar yang diadakan oleh Clinton Global Initiative (CGI), dan Boediono dalam kesempatan itu menyampaikan beberapa butir pemikiran mengenai pemanfaatan teknologi untuk mempercepat pemberantasan kemiskinan. Menurut Wapres, penanggulangan kemiskinan di Indonesia berfokus pada perbaikan kualitas sumber daya manusia melalui perbaikan kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Indonesia, kata Boediono, telah menyediakan anggaran dana 20% dari anggaran pendidikan untuk perbaikan kualitas pendidikan di samping menyediakan layanan dasar kesehatan untuk orang miskin secara cuma-cuma melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat. Saat ini pemerintah juga menyiapkan perubahan layanan sistem jaminan kesehatan berbasis asuransi yang mencakup seluruh penduduk sesuai amanat UU Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Dikatakan Wapres pula masalah kemiskinan bukan hanya dialami oleh Indonesia tapi juga merupakan masalah global. Total, kata Boediono, masih ada 1,37 miliar penduduk dunia tergolong miskin, 30 juta orang diantaranya berada di Indonesia, 465 juta orang di India, 208 juta orang di China, Asia 957 juta orang.
Wapres juga menyatakan komitmen pemerintah untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia hingga delapan persen hingga 10 persen dari jumlah penduduk tahun 2014 dari angka saat ini 13,3 persen tahun 2010. Untuk itu, kata Boediono, pemerintah sudah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang langsung diketuai Wapres untuk memastikan pencapaian target tersebut.
Analisis:
Kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, dan air minum. Hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.
Kemiskinan memang bukan hal baru lagi dalam salah satu permasalahan pemerintah Indonesia yang hingga saat ini belum dapat dituntaskan pemecahannya. Karena masalah kemiskinan ini bukan baru beberapa tahun ini datang, melainkan sudah sejak bertahun-tahun yang lalu. Kemiskinan seperti menjadi salah satu ciri khas negara kita.
Menurut sejarah, keadaan kaya dan miskin secara berdampingan tidak merupakan masalah sosial, sampai saatnya perdagangan berkembang dengan pesat dan timbulnya nilai-nilai sosial yang baru. Dengan berkembangnya perdagangan keseluruh dunia dan ditetapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakat, kemiskinan muncul sebagai masalah sosial. Pada waktu itu individu sadar akan kedudukan ekonominya sehingga mereka mampu untuk mengatakan apakah dirinya kaya atau miskin. Kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial apabila perbedaan kedudukan ekonomi para warga masyarakat ditentukan secara tegas.
Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap
tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang.
Selain itu, jika dilihat dari sisi ilmu geografi yang membahas tentang penduduk dan lingkungannya, permasalahan kemiskinan muncul karena meledaknya jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun. Ibaratnya mereka menganut prinsip banyak anak banyak rezeki. Dan jumlah penduduk yang membeludak tersebut kebanyakan bertumpuk pada satu tempat yang sama, seperti di pulau Jawa. Selain itu juga dikarenakan banyaknya atau meningkatnya jumlah pengangguran dari ke tahun, menyebabkan kemiskinan semakin menjadi momok. Terlebih karena jumlah pengemis dan gelandangan yang seolah ikut-ikutan tidak ada hentinya untuk terus bertambah.
Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Dalam sudut pandang ekonomi, program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan, karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.
Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan, baik lokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.
Diagnosa kemiskinan juga menunjukan bahwa perbaikan dalam sektor pendidikan (educational endowment) –di atas pendidikan sekolah dasar- adalah faktor kunci dalam pengentasan kemiskinan. Investasi terhadap rakyat miskin melalui pertumbuhan ekonomi, perencanaan dan penganggaran belanja yang berpihak pada masyarakat miskin adalah sangat penting. Ditambah lagi, rakyat miskin harus dapat dihubungkan dengan kesempatan-kesempatan pertumbuhan, melalui hal-hal seperti akses terhadap infrastruktur, jalan, dan kredit. Selain itu, penanggulangan tingkat pengangguran juga perlu diperhatikan dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Anak putus sekolah
“12 Juta Anak Indonesia Putus Sekolah”
Dalam kenyataan yang umum, tingkat pendidikan berpengaruh mutlak terhadap peluang bekerja, posisi di bidang kerja, tingkat salary dan fasilitas yang dapat dinikmati; menentukan pula terhadap perilaku individu dalam rumah tangga, tanggung jawab sosial; dan mempengaruhi bobot independensi individu di bidang sosial-politik.
Secara kasat mata saja kita sudah bisa melihat dampak langsung dari begitu besarnya angka putus sekolah di Indonesia. Pengamen cilik dan usia remaja kini bergentayangan di seluruh wilayah negeri ini. Tidak hanya di kota-kota besar, mereka hadir sampai di desa-desa dan menyebarkan kebisingan, gangguan dan kecemasan.
Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun di tingkat SD tercatat 23 %. Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 %. Jadi jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tidak kurang dari 8 juta.
8 juta remaja yang masih labil dan mencari identitas diri terpaksa putus sekolah; terpaksa meninggalkan teman-temannya yang masih terus bersekolah; dan terpaksa menelan kenyataan pahit sebagai manusia yang gagal dan tereliminasi. Menurut Arist Merdeka Sirait, sebagaimana diberitakan surat kabar Kompas edisi Selasa (18/3),”Dampak ikutan, anak-anak yang berkeliaran di jalan-jalan di Jakarta juga akan terus bertambah. Setelah mereka putus sekolah tentu mereka akan berupaya membantu ekonomi keluarga dengan bekerja apa pun.”
‘Bekerja apapun’ adalah sebuah pesan yang sangat jelas, meski sengaja disampaikan secara samar. Artinya, dalam rangka stuggle for life atau demi melanjutkan gaya hidup yang terlanjur konsumtif; bisa saja mereka menjadi pedagang asongan, pengamen, pengemis, kuli panggul, pencopet, pedagang narkoba; atau menjadi pembantu rumah tangga, kawin di usia dini atau menjadi pelacur.
Analisis:
Kasus putus sekolah lebih sering diakibatkan karena kurangnya dana untuk melanjutkan pendidikan tersebut, rendahnya tingkat pemahaman akan pentingnya pendidikan, juga dikarenakan minat peserta didik itu sendiri yang lemah untuk melanjutkan pendidikannya.
Padahal jelas tercantum dalam UUD 1945, bahwa pendidikan merupakan salah satu hal pokok yang harus didapatkan setiap warga negara Indonesia. Bahkan dalam pasal 31 ayat 2 jelas dikatakan bahwa, “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Kemudian jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang banyak disebabkan karena mahalnya biaya pendidikan, yang membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Jelas mereka tidak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat mahal itu. Bagaimana seorang penarik becak misalnya yang memiliki anak cerdas bisa mengangkat dirinya dari kemiskinan ketika biaya untuk sekolah saja sudah sangat mencekik leher. Sementara anak-anak orang yang berduit bisa bersekolah di perguruan-perguruan tinggi mentereng dengan fasilitas lengkap.
Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.
Selain itu, jika dilihat dari faktor psikologi, penyebab anak-anak tersebut putus sekolah adalah karena pemikiran yang terbentu di benak mereka. Mereka yang kebanyakan mengisi waktu dengan berkeliaran di jalan, menganggap hal tersebut lebih menyenangkan dari pada menghabiskan waktu di sekolah.
Untuk menangani hal ini tentu kita –negara kita- mesti lebih cermat lagi dalam mengambil langkah. Dilihat dari faktor psikologi, jika malasalah yang timbul karena rendahnya minat peserta didik itu sendiri atau karena pemikiran yang tidak berkembang, kita mestinya dapat melakukan sosialisasi akan pentingnya pendidikan tersebut. Bukan hanya pendidikan yang berupaya mengembangkan kecerdasan seseorang, tapi juga pendidikan yang mampu mengasah kemampuan seseorang dalam mengolah sesuatu. Namun, jika memang masalah utama timbul karena faktor biaya –segi ekonomi- pendidikan yang terlalu mahal. Mestinya ada pengkhususan bagi mereka yang tidak mampu untuk tetap dapat mendapatkan pendidikan.
Sekarang ini sudah banyak jenis pendidikan yang memberikan kesempatan kepada para peserta didiknya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih layak tanpa pungutan biaya yang besar, bahkan ada yang sama sekali tidak memungut satu rupiah pun dari para peserta didiknya. Baik itu bentuk pendidikan yang formal, maupun informal. Semoga saja dengan adaya hal ini, dapat mengurangi tingkat anak yang putus sekolah.
Pendidikan bisa dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda dalam sudut pandang sosiologi, yaitu sudut pandang dimensi akademik dan sudut pandang dimensi praksisnya dalam kehidupan. Apabila dimensi akademik menekankan pada pemahaman dan pengembangan ilmu, dimensi praksis berkaitan dengan implementasinya dalam kehidupan beserta dampak-dampak sosial yang mengiringinya. Sebenarnya kedua dimensi itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Antara keduanya terjalin hubungan kesalingtergantungan yang amat erat saling meningkatkan dan saling menguatkan.
Pengangguran
“Masalah Pengangguran dan Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia”
Dari 107,41 orang yang bekerja pada waktu yang sama, status pekerja utama yang terbanyak sebagai buruh/ karyawan yakni mencapai 30,72 juta atau sekitar 28,61 persen. Kemudian diikuti berusaha dibantu buruh tidak tetap (buru harian/ borongan) sebesar 21,92 juta orang atau 20,41 persen, dan berusaha sendiri sejumlah 20,46 juta orang atau 19,05%, sedangkan sisanya adalah berusaha dibantu buruh tetap. Jumlah penduduk yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan untuk semua golongan pendidikan mengalami kenaikan, di mana pada kuartal pertama tahun 2009 pekerja yang bekerja dengan tamatan universitas sebanyak 4,22 juta orang, untuk kuartal yang sama tahun 2010 meningkat menjadi 4,94 juta orang. Sementara untuk tenaga kerja yang bekerja dengan tamatan Diploma 1/11/III pada kuartal pertama tahun 2009 sebanyak 2,68 juta orang pada kuartal yang sama tahun 2010 naik menjadi 2,89 juta orang sementara untuk pekerja dengan pendidikan terakhir sekolah menengah kejuruan juga terjadi peningkatan, pada kuartal pertama tahun 2009 sebanyak 7,19 juta orang untuk kuartal yang sama tahun 2010
meningkat menjadi 8,34 juta orang. Dengan target pemerintah pada tahun 2010 angka pengangguran di Indonesia menjadi 8 persen, jika dilihat dari data yang ada di BPS pada kuartal pertama tahun 2010 sudah bisa dikatakan berhasil, sebab menurut data yang ada di mana angka pengangguran hanya sebesar 7,41 persen atau 8,59 juta orang. Yang menjadi pertanyaan dengan keberhasilan kuartal 1/2010 apakah angka tersebut bisa di pertahankan hingga akhir tahun 2010.
Analisis:
Masalah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia seolah sudah menjadi kawan sejati yang tidak bisa dipisahkan. Dari tahun ke tahun jumlah pengangguran yang ber-title sarjana terus bertambah, tanpa –mereka- memiliki perbekalan atau keahlian dalam bidang tertentu untuk mengatasi pengangguran itu sendiri. Serta dengan semakin sedikitnya jumlah lapangan kerja yang tersedia.
Dari segi ilmu geografi, pengangguran adalah salah satu permasalahan yang terdapat di dalamnya. Indonesia membutuhkan petumbuhan setidaknya 7,3 persen per-tahun untuk mengurangi angka pengangguran. Pertumbuhan itu bisa dicapai jika laju inflasi berkisar 4 hingga 6 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) per-hari ini mencatat ada sekitar 1,1 juta orang yang menjadi pengangguran baru di Indonesia. Jumlah tersebut merupakan jumlah anak yang tamat sekolah (perguruan tinggi) namun belum bisa diterima bekerja.
Sedangkan jika dilihat dari segi ilmu ekonomi, meluasnya pengangguran sebenarnya bukan saja disebabkan rendahnya tingkat pendidikan seseorang, tetapi juga disebabkan kebijakan pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro atau pertumbuhan. Ketika terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia tahun 1997 silam, misalnya banyak perusahaan yang melakukan perampingan jumlah tenaga kerja. Sebab, tidak mampu lagi membayar gaji karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya jutaan orang terpaksa harus dirumahkan atau dengan kata lain meraka terpaksa di-PHK –Pemutusan Hubungan Kerja.
Upaya untuk mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia salah satunya tentu saja dengan membuat suatu lapangan kerja untuk mereka –dalam jangka pendek. Juga dengan memberikan pelatihan berupa kemampuan bakat atau skill yang perlu dikembangkan untuk menghadapi masa depan yang lebih sulit lagi. Dapat pula dengan memprioritaskan pendidikan yang diambil yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki. Selain itu perlu juga dalam membatasi pertumbuhan penduduk yang setiap tahunnya terus meningkat. Sedangkan strategi jangka panjang seperti pemerataan pertumbuhan ekonomi di wilayah melalui kebijakan desentralisasi. Hal ini dinilai sangat membantu menyerap orang-orang yang menganggur tetapi kreatif dan menjadi pereda di tengah pasar global. Jika ternyata hal ini dapat menjawab sebagian dari masalah pengangguran yang di hadapi bangsa ini, maka sudah waktunya hal ini didukung oleh pemerintah dengan menyiapkan anggaran. Anggaran ini bisa digunakan untuk dijadikan modal pengembangan usaha ekonomis produktif bagi pekerja-pekerja informal serta bisa dijadikan modal untuk merintis usaha baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar